Memandang Hari Pahlawan dari Pojok Pematang
Tanipanganlestari.com, Jangan dikira selama 5 tahun perang Jawa, Pangeran Diponegoro dan prajuritnya hanya sibuk perang terus tanpa pernah leren madyang.
Atau arek-arek dan santri Surabaya bangun tidur langsung brubut maju jihad, tanpa sarapan dulu.
Ketika pangan tercukupi niscaya para pejuang akan makin garang di medan perang.
Selain senjata, pangan juga faktor pendukung utama di masa perjuangan tempo dulu. Semangat berkobar, senjata nan sakti, ketika perut kosong berperang pun akan letoy.
Sumber dan suplai pangan menjadi bagian penting dalam mensukseskan perjuangan.
Nah.. Di sinilah para moyangku kaum tani ikut andil. Bahu membahu dengan laskar pejuang melawan penjajah.
Acapkali kaum tani mendapat peran tambahan. Bisa ditugasi jadi kurir, mata-mata, bahkan penyelundup senjata dan bahan pangan.
Tapi sayangnya, catatan sejarah terlalu “to the point”. Tidak memunculkan dinamika faktor dan aktor secara lebih komplit.
Kiprah perjuangan kaum tani seolah terlupa dalam catatan sejarah. Petani hanya digambarkan sebagai korban tanam paksa, pesakitan romusha, atau sebagai budak kerja rodi.
Nyaris tak ada heroisme petani dalam catatan sejarah.
Thole dan kawan-kawannya hanya tahu, para pejuang itu mereka yang memegang bedil seperti Pak Dirman, menyilangkan golok di dada laiknya Kapitan Pattimura, atau yang menyelipkan keris di pinggang seperti Sultan Hasanudin.
Tentu tidak ada gambar pejuang di tembok sekolah yang memanggul cangkul di pundak.
Lahul Fatihah, untuk para pahlawan dan pejuang bangsa!
Penulis : Rustamaji
Editor : Wahyu Eka Nugraha
BAGIKAN ARTIKEL